Dibawah semburat oranye lembayung senja, aku menemukanmu
termanggu menatap nanar gradasi ternama karya sang Pencipta. Aku sudah datang, begitu sapaku. Kau
menatapku, tanpa kata terucap dari bibirmu. Ah, pasti itu lagi, pikirku. Selalu
saja seperti ini.
Gelak tawa, canda riang yang merekah siang tadi sudah tak
dapat kutemukan lagi dalam binar matamu. Kini yang terlihat hanyalah lipatan pikiran di dahimu yang sengaja untuk terus kau
simpan entah sampai kapan. Aku masih terdiam, memberimu kesempatan untuk
merangkai kata menjadi sebuah cerita keluh kesah yang sudah kuduga kemana akan
bermuara.
Sungguh tidak adil, kenapa selalu denganku kau membagikan cerita
sendu itu. Berulang kali kukatakan, berdamailah dengan masa lalumu. Tapi tetap
saja kau yang bebal membiarkan kenangan memperbudak angan dan harapan. Kau
layak diselamatkan, begitulah yang selalu ada dibenakku. Yang membuatku
bertahan untuk terus mendengarkan setiap bait pilu yang kau lantunkan.
Sebenarnya aku memiliki rasa, sebuah penawar yang baik untuk menambal luka. Namun
sepertinya kau belum sadar, sedangkan aku pun masih enggan.
#31HariMenulis #12
#fiksi
No comments:
Post a Comment