Dia memang bukan wanita pertama yang membuatku jatuh cinta. Sebentar,
aku belum yakin bahwa aku benar-benar jatuh cinta. Mungkin sekedar kagum. Tapi
sepertinya lebih dari itu. Tiga tahun sudah aku secara diam-diam
mendambakannya. Nyaliku jauh dibawah kadar minimal yang seharusnya dimiliki
oleh seorang laki-laki.
Sebelumnya, aku tidak pernah merasakan jatuh hati sedalam
ini, bahkan hingga aku sendiripun tak berani menunjukkan kepada wanita itu.
Kudengar memang dia masih sendiri. Ya mungkin pria-pria yang lain sama
denganku, minder dengan dirinya yang terlalu tinggi untuk digapai. Ramah,
periang, berprestasi dan sekaligus misterius. Aku tak pernah berhenti untuk
diam-diam mencari tau tentangnya. Hingga berujung sebuah harapan yang terlalu
riskan untuk dijadikan sebuah harapan.
“Hahahaha kupikir kau ini orang yang paling rasional yang pernah
kutemui.” gelak tawa mengejek mengikuti ucapannya.
Aku tersenyum getir mendengar respon sahabatku itu. Seorang
pribadi yang sangat lugas sekaligus keras. Mungkin bagi orang yang belum
mengenalnya lebih jauh ia terkesan seperti berandalan yang masuk dalam daftar
pencarian orang. Sehingga untuk berkenalan dengannya saja pasti enggan.
Bagiku dia adalah sahabat sekaligus rekan bisnis terbaik
yang pernah kumiliki. Kami bersahabat sejak SD sekaligus tetanggaku di rumah
yang lama. Sejak kecil ia telah banyak makan pahitnya hidup. Namun, ia selalu
memiliki perspektif lain bagaimana ia memandang sebuah fase kehidupan. Tak jarang
pemikirannya pun cenderung aneh. Ia akan berubah menjadi sangat bijaksana ketika
alkohol meninggikan akalnya.
“Hah diam kau. Udah ah, mau
balik aja.” sembari berkemas, mematikan rokokku kemudian meneguk kopi yang
tersisa.
“Etdaaaah, baru juga jam segini. Mau ngapain siiih? “ tanyanya.
Sudah 4 jam kami berada di cafe ini, sebuah cafe tua yang
menjadi tempat langganan kami sedari duduk di bangku SMA. Desain yang
minimalis, dengan furnitur berbahan dasar kayu jati, lampu kuning redup dan
sepi karena jauh dari jalan besar yang riuh dengan bising suara kendaraan. Menjadikan
tempat ini nyaman untuk dijadikan tempat berbincang
“Mau
nyari rasional, kali nyelip di kamar. Puas?” jawabku kemudian beranjak
berdiri, mengenakan tas selempangku seraya melemparkan kotak rokok kearahnya.
“Hahahahahaha bye. Tiati yeee.” Sahutnya
diselingi tawa.
Ia menangkap dengan gesit bungkus rokok yang kulemparkan
padanya seraya menaikkan alisnya dengan wajah sarkas menatapku. Kemudian
kembali menenggak segelas bir, entah sudah botol keberapa.
#31HariMenulis #4 #fiksi
#31HariMenulis #4 #fiksi
No comments:
Post a Comment