Pages

Saturday, May 23, 2015

Hilang




Dia memang bukan wanita pertama yang membuatku jatuh cinta. Sebentar, aku belum yakin bahwa aku benar-benar jatuh cinta. Mungkin sekedar kagum. Tapi sepertinya lebih dari itu. Tiga tahun sudah aku secara diam-diam mendambakannya. Nyaliku jauh dibawah kadar minimal yang seharusnya dimiliki oleh seorang laki-laki. 

Sebelumnya, aku tidak pernah merasakan jatuh hati sedalam ini, bahkan hingga aku sendiripun tak berani menunjukkan kepada wanita itu. Kudengar memang dia masih sendiri. Ya mungkin pria-pria yang lain sama denganku, minder dengan dirinya yang terlalu tinggi untuk digapai. Ramah, periang, berprestasi dan sekaligus misterius. Aku tak pernah berhenti untuk diam-diam mencari tau tentangnya. Hingga berujung sebuah harapan yang terlalu riskan untuk dijadikan sebuah harapan.

“Hahahaha kupikir kau ini orang yang paling rasional yang pernah kutemui.” gelak tawa mengejek mengikuti ucapannya.

Aku tersenyum getir mendengar respon sahabatku itu. Seorang pribadi yang sangat lugas sekaligus keras. Mungkin bagi orang yang belum mengenalnya lebih jauh ia terkesan seperti berandalan yang masuk dalam daftar pencarian orang. Sehingga untuk berkenalan dengannya saja pasti enggan. 

Bagiku dia adalah sahabat sekaligus rekan bisnis terbaik yang pernah kumiliki. Kami bersahabat sejak SD sekaligus tetanggaku di rumah yang lama. Sejak kecil ia telah banyak makan pahitnya hidup. Namun, ia selalu memiliki perspektif lain bagaimana ia memandang sebuah fase kehidupan. Tak jarang pemikirannya pun cenderung aneh. Ia akan berubah menjadi sangat bijaksana ketika alkohol meninggikan akalnya. 

“Hah diam kau. Udah ah,  mau balik aja.” sembari berkemas, mematikan rokokku kemudian meneguk kopi yang tersisa.
“Etdaaaah, baru juga jam segini. Mau ngapain siiih? “ tanyanya.

Sudah 4 jam kami berada di cafe ini, sebuah cafe tua yang menjadi tempat langganan kami sedari duduk di bangku SMA. Desain yang minimalis, dengan furnitur berbahan dasar kayu jati, lampu kuning redup dan sepi karena jauh dari jalan besar yang riuh dengan bising suara kendaraan. Menjadikan tempat ini nyaman untuk dijadikan tempat berbincang 

 “Mau nyari rasional, kali nyelip di kamar. Puas?” jawabku kemudian beranjak berdiri, mengenakan tas selempangku seraya melemparkan kotak rokok kearahnya.
“Hahahahahaha bye. Tiati yeee.” Sahutnya diselingi tawa.

Ia menangkap dengan gesit bungkus rokok yang kulemparkan padanya seraya menaikkan alisnya dengan wajah sarkas menatapku. Kemudian kembali menenggak segelas bir, entah sudah botol keberapa.




#31HariMenulis #4 #fiksi

No comments:

Post a Comment